Di Pemilu 2014 kemarin
untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia, rakyat memilih langsung satu
dari dua calon yang tersedia. Keberadaan dua calon ini membuat perbedaan
politik meruncing. Tak sedikit jalinan persahabatan, hubungan keluarga, atau
bahkan kehidupan percintaan yang terusik karena keadaan ini.
Bahkan pertanyaan favorit
lebaran yang tadinya adalah “kapan kawin?” bergeser menjadi “nomor satu atau
dua?”.
Presiden sudah terpilih.
Kabinet sudah terbentuk. Mereka yang tidak tercatat namanya dalam sejarah di
periode ini perlahan sudah berhasil mengobati sakit hati dan sakit kantong.
Sayangnya, masih banyak rakyat Indonesia yang terjebak dalam kebencian
berkepanjangan, dipermainkan hatinya oleh politik. Masih banyak rakyat
Indonesia yang susah move on. Rakyat
Indonesia terjebak dalam dinamika permainan politik yang tak biasa mereka alami
sehari-hari.
Para pelaku politik
memainkan media sedemikian rupa dan menjepit pion-pion yang tak cukup pintar
untuk turut bermain. Tokoh yang hari ini kawan bisa langsung berubah menjadi
lawan hanya dalam hitungan jam. Tergantung kebijakan mereka yang di atas. Dalam
dunia politik berita begitu cepat beredar, status begitu cepat berubah, tak
jelas beda benar dan salah. Jika ini terjadi, hanya rakyat yang bertingkah awkward. Kemarin memuji satu orang, hari
ini harus menjelekkannya, semata untuk mengikuti perintah “nabi”-nya.
Padahal permainan politik
tak ubahnya permainan (kebanyakan) ibu-ibu kompleks. Politik dengan medianya
dan ibu-ibu kompleks dengan gosipnya.
Sama seperti di dunia
politik, di dunia ibu-ibu kompleks juga saya hanyalah sebiji pelanduk yang
terjebak di tengah pertarungan para gajah. Ibu-ibu kompleks begitu kencang
menyebarkan gosip, membicarakan mereka yang tidak hadir di perkumpulan hari
ini. Ibu A menceritakan berbagai borok Ibu B dan betapa ia membencinya. Saya
yang mendengar tergerak hatinya untuk ikut menjauhi Ibu B. Tapi, begitu Ibu A,
Ibu B, dan saya bertemu, Ibu A dan Ibu B begitu akrab bercengkrama mengacuhkan
saya si rakyat jelata yang kebingungan harus bersikap bagaimana. Bahkan jika
saya tak hadir di antara mereka, bukan tidak mungkin Ibu A dan Ibu B berbincang
sembari meneguk teh manis hangat menertawakan kebodohan saya.
Begitulah politik
Indonesia menurut saya. Politik ibu-ibu kompleks. Ibu-ibu kompleks tidak pernah
benar-benar membenci satu sama lain dan tidak juga benar-benar memuji
penampilan ibu yang lain. Mereka hanya senang bergunjing dan menyebarkan gosip
saja. Demikian pula dunia politik. Tak ada archenemy
maupun true comrade di dunia politik.
Mereka hanya senang bermain-main dengan kekuatan yang mereka miliki.
Gitu aja sih.
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete