Jadi gue abis buka-buka
catatan kegombalan partner (ya, gue punya diary,
bodo amat, siapa tahu jadi buku), terus teringat pernah ada satu dialog seperti
ini.
“Kalau kamu putus dari aku, enak amat yang jadi pacar kamu nanti, sudah susah-susah aku didik biar tambah cantik luar dalam, malah dia yang nikmatin hasilnya.”
Sebelum lanjut ngobrol
tentang mantan, let me explain the
meaning behind that sentence first. Jadi, gue ketemu sama partner gue ini
sekitar tahun kedua kuliah. Nah, dari kecil sampai kuliah rambut gue tuh
pendek. Pernah panjang sekali pas tahun pertama kuliah, tapi itu karena potong
rambut di Turki tuh mahal dan gue ga ikhlas saja bayar semahal itu untuk potong
rambut dikit doang.
Nah, pas awal-awal dekat,
kita buat taruhan, gue disuruh manjangin rambut selama empat bulan (lupa
hadiahnya apaan). Taruhan yang berujung dilupakan karena terlanjur dekat. Terus
setelah dekat, dia pun mulai minta gue masak ini itu yang berujung pada gue
sekarang (ngaku-ngaku) jago masak. Haha. Dan berbagai hal lainnya lah dia
lakukan untuk membuat gue mirip orang normal. Hingga berujung pada kalimat itu.
Demikian.
Mau tidak mau, jauh di
lubuk hati, saya rasa semua orang tidak bisa memungkiri kalau mantan, seseorang
yang pernah punya tempat spesial di
hati kita, juga pernah memberikan hal-hal positif untuk diri kita. Entah karena
memang dia orang baik yang ingin membuat kita jadi lebih baik, meski saying
takdir berkata lain. Atau saking buruknya dia, hingga kita berubah menjadi orang
yang lebih baik, demi tidak bersinggungan dengan orang-orang semacamnya lagi.
Ya, bagaimanapun, sebagai
seorang yang pernah punya tempat spesial, apa yang dikatakan atau diperbuatnya
pernah mengganggu keseimbangan hidup kita.
Coba ingat-ingat lagi
(anjir, mengorek luka lama). Coba akui hal-hal baik apa yang ditularkan mantan
lo. Atau luka macam apa yang pernah dia kasih, sehingga membuat lo menjadi
seorang pribadi yang lebih baik. Semacam Thank You Note lah untuk mantan. Ga
perlu lah disampaikan langsung. Cukup lo aja yang tahu.
Weitz, sebelum gue dituduh ngerusak hubungan orang, menurut
gue, mantan tuh hidup dalam kenangan. Dan tempatnya memang dalam kenangan.
Mengenang mantan ga berarti ingin kembali menjalani hari-hari bersama mantan.
Sama seperti mengenang masa pemerintahan Soeharto. #eh
Mantan (gebetan) gue, ya,
bahkan bukan mantan pacar, membuat gue jadi gila komik. Ini hal baik bukan ya?
Haha. Buat gue baik sih. Karena pada akhirnya komik itu menjadi salah satu hal
yang membantu gue tetap waras di tengah kegilaan dunia. Sekarang tentunya gue
jauh lebih cinta komik daripada dia. Setiap ingat dia gue ingat komik. Setiap
ingat komik, ya gue baca komik saja langsung, tanpa ingat dia. Jangan lebay ah!
Mantan gue membuat gue
mengerti apa artinya “selesaikan urusanmu dengan semua cinta lama sebelum
melangkah dengan yang baru” saat dia tiba-tiba ngajak gue main layangan setelah
lama ga bertemu, satu minggu sebelum dia menikah. Yap, mantan gue bahkan masih
mengajarkan sesuatu di saat dia sudah jadi mantan. Tapi ya, beneran deh,
selesaikan semua urusanmu dengan masa lalu. Ga harus mantan, bisa jadi trauma
masa kecil, dendam karena merasa diasingkan orang tua, dan bahkan
persoalan-persoalan sepele. Selesaikan semua urusan (permasalahan) lama, karena
kalau tidak, ada kemungkinan ia akan mengganjal urusan yang baru. Ga percaya?
Coba tanya sama Mary Watson.
Mantan gue yang lain
mengajarkan gue tentang cinta. Cinta sejati yang sudah nyangkut di hati dan ga
akan pergi kemana-mana, karena semua maaf diciptakan hanya untuknya, dan semua
penyesalan tetap ada, meski telah berusaha untuk memberikan yang terbaik.
Sayangnya, hal itu membuat gue sadar kalau yang gue rasakan ke dia itu bukan
cinta. Haha. Putus. Lo. Gue. End.
Baca juga: Kenangan
Mantan yang Dibuang
Yah begitulah mantan.
Banyak hal baik yang sudah dia lakukan, tapi berujung pada perpisahan dan
terlupakan. Dilupakan. Disudutkan di pojok ingatan. Karena partner yang baru
sudah menguasai semua tempat. Nanti, saat kamu mendengar sebait lirik lagu yang
membuatmu teringat akan dia, kunjungilah dia di pojok ingatan. Sekedar menyapa,
“hai, terima kasih sudah pernah berbagi waktu dengan saya.”
Post Comment
Post a Comment